Sabtu, 19 November 2011

mengapa berfilsafat

Dewasa ini, hampir semua orang dalam peradaban modern bertambah semakin kaya dan sejahtera. Perkembangan teknologi telah memudahkan dan memanjakan hidup sehari-hari. Akan tetapi, mereka justru merasa tidak lebih bahagia dan “utuh” daripada orang-orang di zaman dahulu. Mereka merasakan adanya “kekosongan” dalam kehidupan pribadi. Untuk itu, banyak jalan dilakukan untuk mengusir kegundahan tersebut, entah lewat alkohol, agama, hubungan keluarga, psikoterapi, astrologi, atau lainnya. Mereka percaya bahwa masalah hidup dapat diselesaikan dengan cara-cara demikian. Namun, usaha-usaha ini ternyata pada akhirnya seringkali gagal, bahkan memburuk. Lalu, mengapa orang-orang gagal dalam usahanya meraih kebahagiaan dan keutuhan hidup? Apakah kesalahan mereka yang utama? Lantas, bagaimana seseorang harus mencari jawaban atas masalah hidupnya? Saya kira, jawaban terbaik atas masalah seseorang tentang hidup hanya bisa ditemukan melalui pemikirannya sendiri—dengan kata lain, berfilsafat. Meskipun kebanyakan orang seringkali bertanya-tanya seputar masalah eksistensial manusia, mereka hampir tidak pernah mencari tahu apa saja argumentasi tokoh-tokoh filsafat tentang hal serupa. Penyebabnya ada dua: malas dan segan. Membaca karya-karya para filsuf dengan penuh perhatian dianggap begitu sulit dan berat. Bahkan ketika sudah mempelajari lebih dalam, orang-orang akan menemukan bahwa inti berfilsafat tidak lebih dari bertanggung jawab atas pemikiran diri sendiri. Maka, kunci utama berfilsafat ialah otonomi, yang berarti “kebebasan dan motivasi-diri”, dan bukan heteronomi, yang berarti “menyerahkan tanggung jawab pada seseorang atau sesuatu di luar diri sendiri”. Ada perbedaan besar antara mencapai kesimpulan dari pemikiran sendiri dan menerima begitu saja pemikiran orang lain. Di sinilah kesalahan orang-orang pada umumnya: mereka terbiasa beranggapan bahwa segala metode-siap-pakai sanggup membereskan masalah. Akibatnya, mereka tidak berusaha dari diri mereka sendiri. Padahal, hanya dengan usaha yang sungguh untuk mencapai tujuan dan menjadikan usaha itu sepenuhnya “milik diri sendiri”, seseorang akan menemukan solusi yang dicari. Filsafat menuntut adanya kebebasan, keterbukaan berpikir, dan otonomi. Ini sungguh berbeda dengan mengikuti begitu saja pemikiran dari suatu otoritas atau sistem kepercayaan. Validitas setiap argumentasi diselidiki. Hanya dengan cara inilah seseorang akan mencapai pencerahan (enlightenment). Dengan demikian, berfilsafat bukanlah untuk mencari jawaban final yang dapat diterima semua orang. Yang penting, seseorang harus berpikir tentang suatu masalah dengan perspektif yang dalam, mencakup berbagai sudut pandang. Jadi, seseorang selalu dapat menemukan solusi atas permasalahan hidupnya. Namun, caranya bukan dengan mengikuti metode-siap-pakai di luar dirinya, bukan pula mengamini otoritas dan pemikiran orang lain mentah-mentah, melainkan dari pemikirannya sendiri yang independen dan dapat dipertanggungjawabkan. Itulah filsafat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar